IPB Tawarkan Komunitas Estat Padi (KEP) Sebagai Bentuk Revitalisasi Bimas

IPB Tawarkan Komunitas Estat Padi (KEP) Sebagai Bentuk Revitalisasi Bimas

Berita

Tahun 2007, pemerintah telah mencanangkan untuk meningkatkan produksi padi setara 2 juta ton beras dan peningkatan 5 % untuk tahun-tahun berikutnya yang dikenal dengan program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional). Target ini membutuhkan upaya yang sangat berat apalagi bila melihat kondisi teknologi, varietas, ketersediaan lahan, infrastruktur dan kelembagaan yang ada, tampak belum memberikan dukungan yang memadai.

"Perguruan tinggi dapat berperan dalam penyediaan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB), Varietas Unggul Spesifik (VUS), dan Varietas Unggul Hibrida, teknologi terobosan, rekayasa sosial, dan program pendampingan melalui Kuliah Kerja Profesi mahasiswa, dan Program Sarjana Masuk Desa," kata Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Didy Sopandie,M.Agr saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (29/8).

Untuk mendukung program pemerintah, IPB jauh-jauh hari telah membuat konsep Komunitas Estat Padi (KEP). Konsep ini menyempurnakan kelemahan konsep Bimbingan Massal (BIMAS) yang pernah berhasil membawa Indonesia berswasembada beras di tahun 1984.

Lewat pengkajian mendalam, IPB telah meneliti beberapa kelemahan BIMAS diantaranya, kurang ramah lingkungan, input tinggi, kelembagaan petani yang lemah, tunggakan kredit besar, sistem penyuluhan yang cenderung instruktif, kekurangan tenaga penyuluh, fungsi penyuluh yang lebih mengarah pada kegiatan administratif, hingga penyediaan sarana produksi yang minim. "Konsep BIMAS sudah tidak sesuai karena memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu diperlukan revitalisasi BIMAS. Konsep KEP ini dapat dipandang sebagai BIMAS generasi kedua, " ujarnya.

KEP merupakan reformasi pengelolaan produksi padi baik kelembagaan, sosial maupun teknologi yang mengarahkan suatu unit produksi padi menjadi unit bisnis profesional yang dijalankan oleh komunitas petani itu sendiri. Konsep KEP memiliki karakteristik yang spesifik yang sesuai dengan sumberdaya lokal. Teknologi budidaya KEP telah dikembangkan jauh lebih baik dari BIMAS. Dengan varietas unggul tipe baru yang telah dikembangkan IPB, produksi padi bisa didongkrak dari 4.8 ton per hektar menjadi 8 ton per hektar. Varietas unggul tipe baru padi IPB yang dikembangkan oleh Dr. Hajrial Aswidinoor ini telah berhasil mencapai produksi 7-9 ton/ha di Bogor dan Jawa Tengah. IPB juga telah berhasil memperoleh galur padi unggul harapan untuk lahan pasang surut Kalimantan dengan produksi 6.5 – 7 ton per hektar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada sekarang. Selain itu, IPB berhasil mengembangkan varietas unggul spesifik lokasi di lahan gambut, padi gogo toleran lahan masam dan toleran naungan yang bisa diusahakan sebagai tanaman sela di areal perkebunan.

Menurutnya, rekayasa sosial yang ditawarkan KEP lebih baik yakni pengelolaan agribisnis padi terpadu secara efisien sebagai suatu unit ekonomi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk konsolidasi manajemen area (bukan konsolidasi lahan) dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) bukan sekedar Kelompok Tani (Kelotan). Dengan menerapkan KEP menyebabkan pengelolaan sarana produksi dan alsintan akan lebih efisien, pengelolaan irigasi lebih baik dan pengendalian hama terpadu menjadi lebih efektif.

Prof. Didy menambahkan, untuk mendukung aplikasi KEP, IPB telah mengembangkan teknologi precision farming (pertanian input terukur) melalui aplikasi input-varietas, benih, pupuk, air, bahan organik, dan amelioran sesuai dengan target produksi dan kelestarian lingkungan. Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) terpadu dilakukan berdasarkan monitoring OPT dan pemberdayaan agen hayati serta penggunaan pestisida botani. Disamping itu IPB telah mendirikan klinik tanaman dan sekolah lapang pengendalian OPT terpadu di beberapa lokasi. Konsep KEP yang dibuat juga diarahkan untuk menuju swasembada benih dan menghasilkan beras berkualitas premium serta agribisnis hulu hilir seperti yang telah dilakukan oleh Dr Sugiyanta peneliti dari Departemen AGH, Faperta, IPB di Karawang dan Cianjur.

Posisi tawar petani dalam KEP ini jauh lebih baik karena adanya pengawalan dan pendampingan dari perguruan tinggi pertanian seluruh Indonesia. Sarjana pertanian berfungsi sebagai manajer farm. Manajer ini mendapat pendampingan oleh perguruan tinggi pertanian, Balai Penelitian dan Teknologi Pertanian (BPTP), dunia bisnis pertanian, pemerintah daerah dan penyuluh. "Model rekayasa yang telah dikembangkan IPB antara lain program pendampingan kuliah kerja profesi, sarjana masuk desa, pendampingan transmigran, pendampingan petani untuk irigasi, dan produksi beras berlabel," jelas pria asal Sunda ini. Pola pertanaman padi dengan model KEP berikutnya akan dikembangkan oleh kelompok tani yang tergabung dalam Pejuang Siliwangi Indonesia di Subang, Jawa Barat seluas 150 hektar.

Tentu konsep ini tak sepi kendala, terutama ketika berhadapan dengan sikap petani di dalam menerima sebuah pendekatan baru. Sekadar contoh, kondisi kepemilikan lahan petani kita yang rata-rata sempit (di bawah 0,5 hektar). Sementara dengan sistem KEP akan efisien ketika dilakukan dalam satu hamparan tersier (150-200 hektar), maka perlu pendekatan yang tepat untuk menginformasikan kepada petani bahwa dalam KEP yang dilakukan bukanlah konsolidasi lahan, melainkan konsolidasi manajemen. Sehingga tidak akan menggusur kepemilikan lahan petani.

Sungguh menarik ketika KEP ini bisa di-scale up secara nasional. "Berhasil tidaknya penerapan KEP sangat tergantung pada political will pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, serta memerlukan dukungan semua pihak" tandas Prof. Didy. (ris/nUr)