Rekayasa Genetika Alternatif Tingkatkan Produksi Pangan

Rekayasa Genetika Alternatif Tingkatkan Produksi Pangan

Berita

Budidaya tanaman hasil tekayasa genetika atau lazim disebut dengan tanaman bioteknologi pada sejumlah komoditi pangan menjadi pilihan alternatif yang harus segera diadopsi dalam meningkatkan produksi pangan dan serat bagi kebutuhan masyarakat di Indonesia.

Begitu paparkan Direktur South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) BIOTROP, Dr. Handoko, pada Workshop Bioteknologi untuk Media, dengan tajuk Upaya Membangun Persepsi Positif terhadap Aplikasi Bioteknologi di Indonesia, (14/6) di SEAMEO BIOTROP, Bogor.

“Tanaman bioteknologi pada sejumlah komoditas pangan utama seperti padi, jagung dan kedelai menjadi pilihan alternative yang, mau tidak mau, suka tidak suka, agaknya harus segera diadopsi,” ujar Handoko.

Hal tersebut dijabarkanya bukan tanpa alasan, pasalnya tantangan utama yang dihadapai pembangunan pertanian di Indonesia dewasa ini adalah bagaimana meningkatkan produksi pangan dan serat bagi kebutuhan masyarakat.

Secara umum menurutnya, produktivitas pertanian di Indonesia menunjukan peningkatan yang amat lambat dibandingkan dengan negara-negara maju. Mengingat populasi penduduk Indonesia yang telah mencapai 220 juta jiwa merupakan konsumen pangan yang amat besar.

“Penyempitan lahan pertanian, sebgai konsekuensi industrialisasi dan perluasan area perumahan, praktik pertanian konvensional sudah tidak mampu ladi menopang kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat,” ujarnya.

Terkait penerapan bioteknologi, menurutnya tak bisa dipungkiri lagi, kerena keuntungan potensial yang didapatkan terhadap peningkatan produksi pertanian, telah mendorong pemerintah untuk menempatkan bioteknologi sebagai teknologi unggulan.

“Pada tahun 1988, pemerintah Indonesia telah mencanangkan bioteknologi sebagai salah satu teknologi strategis dalam repelita 1988-1993,” ujarnya.

Handoko menambahkan, komersialisasi tanaman bioteknologi di dunia menunjukan perkembangan yang amat pesat. Sejak dimulainya sepuluh tahun yang lalu, luas tanaman bioteknologi di dunia meningkat lebih dari 50 kali lipat.

Sementara, luas lahan di enam negara yang pada tahun 1996 mencapai 1.7 hektar dan pada tahun 2005 menjadi 90 juta hektar yang tersebar di 11 negara.

Masih dipaparkannya, bahwa apabila dibandingkan dengan tahun 2004, sekurang-kurangnya seperempat juta petani di empat negara menyumbangkan angka pertumbuhan luas lahan tanaman bioteknologi sebesar 11 persen pada tahun 2005.

Akan tetapi, pada saat tanaman bioteknologi pertama kali diperkenalkan, muncul pandangan skeptis tentang manfaat bagi petani kecil. Namun Ia mengatakan tak terbukti, pasalnya, saat ini, terbukti bahwa 90 persen dari 8.5 juta petani penanam tanaman bioteknologi merupakan petani miskin dan merupakan sepertiga luas lahan keseluruhan.

“Harapan terbesar, digantungkan pada komersialisasi padi bioteknologi yang kelak akan mampu mengatasi keterbatasan pangan bagi lebih dari 1.3 milyar penduduk miskin dunia dan sekitar 850 juta penduduk yang terancam kepalaran dan malnutrisi. Saat ini sekitar 7.7 juta petani miskin di Cina, India, afrika Selatan dan Filipina memperoleh peningkatan pandapatan dari budidaya tanaman bioteknologi,” ujarnya.(man)