Bedah 4 Buku Antara Pembangunan dan Globalisasi

Bedah 4 Buku Antara Pembangunan dan Globalisasi

Berita

Departemen Komunikasi Pembangunan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (KPM-IPB) menyelenggarakan bedah 4 buku, Selasa (21/3) di Ruang B1 Fakultas Pertanian Kampus IPB Darmaga.

Ivanovich Agusta, Staf Pengajar Muda Departemen KPM IPB membedah 4 buku sekaligus yang berjudul: Development and Social Change: A Global Perspective karya Philip McMichael, Reimagining Growth: Toward a Renewal of Development Theory oleh Silvana De Paula dan Gary Dymski, The Challenge of Third Wold Development oleh Howard Handelman, The Elusive Quest for Growth: Economics Adventures and Misadventures in the Tropics oleh Wiliam Esterly.

Dalam buku tersebeut, Ivanovich membedah era pembangunan, yakni mulai dari pemahaman di dalam negara miskin sendiri (developmentalisme) menuju perspektif globalisme. Kedua era secara garis besar terbagi dalam dua kurun waktu. Pembangunan (developmentalisme) terjadi sebelum tahun 1980, sedangkan Globalisasi terjadi sesudah tahun 1980.

“ Kedua era ini memiliki kekhasan yang berbeda dalam hal kerangka pemikiran, ekonomi politik, tujuan-tujuan sosial, model pembangunan, alat-alat memobilisasi penduduk, mekanisme, varian pembangunan, kondisi yang dipandang paling penting, serta perkembangan kelembagaan pendukung,” ujar Ivanovich.

Kata Ivanovich, jika pembangunan diartikan sebagai proyek yang masuk ke wilayah Negara tertinggal , maka sejarahnya dimulai pada tahun 1947. Usai Perang Dunia II, atau lebih tepatnya ketika Depresi Besar awal 1930-an, Amerika Serikat sebagai pemenang perang membutuhkan Negara-negara di Eropa sebagai pasar produk barang dan jasa melipah. “Agar masyarakat Eropa memiliki daya beli barang dan jasa tersebut, maka digulirkan Marshall Plan pada tahun 1947. Sedangkan untuk Negara-negara di Asia dan Afrika digulirkan pola pembangunan (development),” urai Ivanovich.

Saat itu, hubungan bilateral Amerika Serikat dan Eropa mendapat protes dari Negara dunia ketiga. Mereka menuntut mekanisme pemberian hutang di bawah koordinasi langsung Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut kata Ivanovich, untuk menanggapi protes ini, Amerika Serikat dan Negara Eropa menggelar pertemuan di Bretton Woods. Pertemuan ini melahirkan dua institusi kembar yakni Bank Dunia (World Bank) dan IMF (International Monetary Fund). “ Kedua lembaga ini mengindikasikan struktur kekuasaan dari Negara maju (terutama Amerika Serikat, kemudian Negara-negara Eropa), terhadap Negara-negara miskin,” jelas Ivanovich.

Bentuk protes Negara berkembang lain juga diwujudkan dalam konsensus Negara Non-Blok. Kejadian utama ialah Konferensi Asia Afrika di Indonesia pada tahun 1955. Kemudian pada tahun 1960-an Negara-negara Dunia ketiga menyampaikan kritik terhadap pola pembangunan yang jsutru mengakibatkan ketergantungan.

Katanya, pertengahan 1980 negara-negara Barat mengalami krisis keuangan. Sehingga membutuhkan pasar yang lebih besar untuk menjual produknya. Kemudian Negara-negara Barat membentuk Konsensus Washington. Dalam konsensus tersebut perlu dilakukan pembukaan pasar yang lebih luas lagi. “Penyusunan pasar bebas di tingkat global atau mendunia lebih dikenal sebagai globalisasi. Untuk membuka pasar tersbut, maka penghalang-penghalang di tingkat nasional diminimalkan. Konsekuensinya peran negara diminimalisasikan. Proses ini lebih dikenal sebagai neoliberalisme,” katanya.
Sayangnya, kata Ivanovic aturan pembukaan pasar dalam negeri lebih kuat diberlakukan pada Negara tertinggal, sementara proteksi pertanian masih berlangsung di Negara maju. (ris)