Mengembalikan Identitas dan Daya Saing Anggrek Nusantara di Panggung Dunia
Indonesia dikenal sebagai rumah bagi ribuan spesies anggrek. Namun di balik kekayaan itu, kontribusinya bagi kesejahteraan dan daya saing nasional masih tertinggal.
Isu inilah yang mengemuka dalam Workshop Anggrek yang digelar dalam rangka Pesta Rakyat Alumni IPB Pulang Kampus (PRA IPK), sebagai ruang refleksi sekaligus diskusi strategis tentang masa depan anggrek Indonesia.
Workshop ini mempertemukan akademisi, praktisi, dan pelaku usaha untuk membahas anggrek bukan sekadar tanaman hias, melainkan plasma nutfah bernilai ekologis dan ekonomi tinggi yang belum dimanfaatkan secara optimal.
“Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah anggrek yang luar biasa, tetapi belum sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat,” ujar Guru Besar Agronomi dan Hortikultura IPB University, Prof Dewi Sukma.
Prof Dewi juga menyoroti ironi ketika negara-negara dengan jumlah spesies anggrek yang lebih sedikit justru mampu menguasai pasar dunia.
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi refleksi penting perlunya penguatan kelembagaan, kolaborasi lintas sektor, serta peran kampus dan alumni dalam mengembalikan anggrek sebagai identitas sekaligus kekuatan IPB University.
Dari sisi budi daya, Fariz Fadil, praktisi lanskap hortikultura sekaligus Direktur Tropica Nurseries, menekankan bahwa anggrek merupakan tanaman asli Indonesia dengan jumlah spesies terbesar di dunia, bahkan melampaui kawasan Amazon. Namun, Indonesia masih sering menjadi penonton dalam bisnis anggrek global.
Ia menyebut ketertinggalan teknologi, terutama dalam pengembangan kultur jaringan dan sistem produksi skala besar yang terhubung langsung dengan pasar, sebagai penyebab utama.
Menurut Fariz, “Budi daya anggrek menjadi satu-satunya cara menjaga kelestarian di tengah ancaman perubahan iklim, bencana alam, dan aktivitas manusia.”
Fariz juga menekankan pentingnya pemahaman karakter ekologis anggrek, termasuk perbedaan kebutuhan antara anggrek dataran rendah dan dataran tinggi. Kesalahan perawatan, seperti pemupukan kimia berlebihan atau penggunaan pestisida yang tidak tepat, justru berpotensi merusak tanaman dan ekosistem.
Sementara itu, Bagas Diki Pratama, pelaku usaha anggrek dan pemilik Green House Nursery, melihat anggrek, khususnya dendrobium, sebagai komoditas dengan peluang bisnis luas.
“Dendrobium lebih mudah dirawat, memiliki siklus jual fleksibel, serta dapat dipasarkan ke berbagai segmen, mulai dari koleksi, dekorasi acara, hingga souvenir,” tuturnya.
Menurutnya, variasi bentuk seperti dendrobium keriting dan bulat menciptakan nilai tambah tersendiri, meskipun membutuhkan waktu dan biaya perawatan berbeda.
Melalui integrasi budi daya berkelanjutan, penguasaan teknologi, dan penguatan jejaring pasar berbasis digital, anggrek Indonesia berpotensi menjadi simbol kebangkitan ekonomi hayati. Kampus, alumni, dan pelaku usaha memiliki peran strategis untuk memastikan kekayaan anggrek nusantara tidak hanya lestari, tetapi juga berdaya saing di tingkat global. (Ez)
