Petani Perempuan Capai 4,2 Juta Orang, Prof Anna Fatchiya: Penyuluhan Pertanian Mesti Responsif Gender

Petani Perempuan Capai 4,2 Juta Orang, Prof Anna Fatchiya: Penyuluhan Pertanian Mesti Responsif Gender

petani-perempuan-capai-4-2-juta-orang-prof-anna-fatchiya-penyuluhan-pertanian-mesti-responsif-gender
Ilustrasi (freepik)
Riset dan Kepakaran

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Prof Anna Fatchiya menegaskan pentingnya penyuluhan pertanian yang responsif gender sebagai strategi krusial dalam mewujudkan pembangunan pertanian dan pedesaan yang inklusif. 

Ia menilai peran perempuan dalam sistem pangan sangat besar. Sayangnya, mereka belum sepenuhnya mendapat ruang setara dalam akses, partisipasi, hingga manfaat pembangunan.

“Di Indonesia, jumlah perempuan petani mencapai 4,2 juta orang. Mereka memiliki kontribusi signifikan dalam sistem pangan, tetapi masih menghadapi ketimpangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan,” ujarnya.

Menurut Prof Anna, langkah pertama yang perlu dibangun adalah mengubah pola penyuluhan yang selama ini cenderung maskulin. Pola penyuluhan harus didesain lebih inklusif, ramah bagi perempuan muda, dan memberi ruang bagi aspirasi serta kebutuhan mereka.

“Yang penting adalah bagaimana mengintegrasikan aspirasi dan kebutuhan perempuan muda di pertanian dalam penyelenggaraan penyuluhan gender. Itu harus dimulai dari kelembagaan, dari tingkat pimpinan hingga penyuluh lapang,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa penyuluhan yang sensitif gender akan membantu perempuan membangun kepercayaan diri, terutama generasi muda yang kerap terpengaruh budaya patriarki.

“Sering kali perempuan muda tidak percaya diri untuk tampil, bahkan kesadaran gendernya rendah karena patriarki terinternalisasi. Akhirnya ketika diminta maju, mereka memilih menahan diri, ‘laki-laki dulu saja’, begitu biasanya,” ungkapnya.

Prof Anna menekankan perlunya ruang khusus yang memungkinkan perempuan bersuara tanpa tekanan. Forum perempuan dan organisasi desa dapat menjadi sarana memperkuat partisipasi dan kepemimpinan mereka.

“Melibatkan kelompok perempuan muda dalam forum-forum desa sangat penting. Jika ruangnya bercampur, sering kali mereka tidak bisa bersuara. Maka ruang belajar kepemimpinan perempuan harus didorong secara sistematis,” jelasnya.

Gen Z Hapus Kesenjangan
Saat ditanya mengenai potensi perempuan generasi Z menjadi motor inovasi pertanian, Prof Anna optimis. Kedekatan mereka dengan teknologi digital dapat menjadi alat kuat untuk mempercepat literasi gender, pertanian modern, hingga jejaring usaha.

“Gen Z hidup di era digital. Teknologi harus menjadi media dan metode kekinian agar mereka tertarik ke pertanian,” ujarnya.

Ia menyebut berbagai pendekatan kreatif dapat dilakukan melalui film, media sosial, konten persuasif, hingga komedi dan gim digital.

“Pesan kesetaraan bisa disisipkan dalam film, gim, bahkan stand-up comedy. Banyak drama Korea yang sudah melakukannya, menampilkan kesadaran gender dengan halus namun kuat,” tambahnya.

Menurutnya, peluang perempuan gen Z untuk menjadi motor inovasi agrikultur semakin terbuka lebar. Namun keberhasilan itu bergantung pada kesediaan mereka memanfaatkan teknologi untuk pengembangan kapasitas diri.

“Kesempatannya luar biasa, karena teknologi tidak mengenal batas geografis maupun identitas gender. Yang penting adalah kemauan untuk memanfaatkannya,” pungkasnya. (AS)