Akademisi IPB University: Potensi Blue Food Harus Jadi Prioritas Pembangunan Nasional

Akademisi IPB University: Potensi Blue Food Harus Jadi Prioritas Pembangunan Nasional

akademisi-ipb-university-potensi-blue-food-harus-jadi-prioritas-pembangunan-nasional-
Berita

Indonesia dengan wilayah laut seluas 70 persen dari total luas negara, harus menjadikan potensi pangan biru (blue food) sebagai prioritas pembangunan nasional. Hal ini disampaikan oleh Dr Nimmi Zulbainarni dalam “Agrifood Summit: Menata Jalan Indonesia Menuju Pangan Dunia” yang diselenggarakan oleh CNN Indonesia, Kamis (16/10) di Jakarta.

Dr Nimmi menekankan bahwa pengembangan sektor kelautan dan perikanan tidak bisa hanya mengejar produksi dan keuntungan semata, tetapi harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem laut.

“Pengembangan potensi perikanan tangkap maupun budi daya tidak semata-mata mengejar keuntungan. Lingkungan, laut, dan kesehatan masyarakat harus tetap terjaga. Kita bicara soal healthy ocean, healthy people, healthy planet,” ujarnya.

Menurut dosen Sekolah Bisnis IPB University ini, pendekatan yang harus digunakan dalam pengembangan pangan biru adalah pendekatan sistemik, bukan sektoral. Untuk itu, ia mendorong penyusunan roadmap pangan biru nasional yang menyeluruh dan terintegrasi.

Namun, Dr Nimmi juga mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, khususnya terkait logistik dan rantai dingin (cold chain), yang sangat penting dalam menjaga mutu produk perikanan yang bersifat mudah rusak (perishable).

Ia juga menyoroti pentingnya modernisasi kapal penangkap ikan dan pengelolaan zona penangkapan. Menurutnya, kebijakan perikanan harus berbasis pendekatan biologi dan ekonomi secara seimbang, agar bisa bersaing dengan negara-negara seperti China dan Jepang yang lebih maju dalam sistem pangan biru.

Lebih lanjut, Dr Nimmi menjelaskan bahwa untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen pangan laut dunia, perlu dikembangkan budi daya berkelanjutan untuk komoditas unggulan seperti tuna, udang, lobster, rajungan, dan kepiting.

Namun, ia mengingatkan agar aspek lingkungan tidak diabaikan. Contohnya, beberapa produk budi daya Indonesia sempat ditolak pasar ekspor, terutama Amerika Serikat, akibat kontaminasi logam berat di sekitar wilayah industri.

“Untuk menembus pasar ekspor, produk perikanan harus memenuhi sertifikasi keamanan pangan dan keberlanjutan. Jika tidak, negara tujuan bisa menolak, seperti kasus di Banten,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Jenderal jen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Machmud, SP, MSc, menegaskan bahwa pemerintah telah mengambil pendekatan holistik yang termaktub dalam Undang-Undang Perikanan. Langkah tersebut mencakup penataan ruang laut, pengembangan kawasan konservasi, hingga penyediaan sertifikasi mutu dan keamanan pangan. (dh)