Dosen IPB University Ciptakan “Jagung Analog”, Solusi Pakan Ternak Murah

Dosen IPB University Ciptakan “Jagung Analog”, Solusi Pakan Ternak Murah

Dosen IPB University Ciptakan Jagung Analog, Solusi Pakan Ternak Murah
Riset dan Kepakaran

Salah satu penyebab utama harga ayam di pasar semakin mahal adalah melonjaknya harga jagung. Jagung merupakan komponen utama dalam formula ransum Ayam atau unggas. Pemakaian jagung dalam ransum unggas tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Melihat situasi ini, Dr Heri Ahmad Sukria, dosen Fakultas Peternakan IPB University, berhasil menciptakan inovasi “jagung analog” sebagai pengganti jagung dalam pakan ternak. Terobosan ini diharapkan mampu menurunkan biaya pakan dalam produksi ternak  unggas dan akhirnya menurunkan harga daging ayam sehingga lebih terjangkau di pasaran.

Jagung analog adalah produk  bahan pakan pengganti jagung yang memiliki nilai gizi  serupa namun berbahan dasar non-jagung, seperti sagu parut dan singkong. Inovasi ini telah berhasil diuji coba pada ayam kampung dalam skala laboratorium. Hasilnya, ayam kampung yang diberi jagung analog menunjukkan performa yang sama baiknya dengan yang mengonsumsi ransum jagung konvensional.

“Sekitar 50 persen dari pakan unggas bersumber dari jagung. Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan jagung nasional dari produksi dalam negeri dan saat ini sudah tidak boleh impor,” ungkap Dr Heri.

Akibatnya, harga jagung terus naik, paling rendah mencapai Rp 5.500 bahkan pada bulan-bulan di luar musim panen, harga  jagung bisa mencapai  Rp7.000 di beberapa wilayah, khususnya di daerah terpencil atau kepulauan. “Hal ini berdampak langsung pada tingginya harga ransum ayam dan  harga ayam di pasar,” jelasnya.

Berbeda dengan negara-negara seperti Amerika dan Eropa yang menggunakan beragam bahan sebagai sumber energi pakan, Indonesia masih sangat tergantung pada jagung.

Dr Heri melihat sagu parut memiliki sebagai potensi besar yang selama ini terabaikan. Indonesia memiliki luasan lahan tanaman sagu sekitar 5 juta hektare lahan sagu di Papua, atau sekitar 99 persen dari total luas lahan sagu nasional. Namun pemanfaatannya masih sangat rendah, yakni di bawah 5 persen.

“Sagu bisa langsung dipanen dari tanaman sagu namun harus memperhatikan  keseimbangan lingkungan kawasan tanaman sagu, sehingga sangat potensial sebagai pakan ternak sumber energi pengganti jagung,” ungkapnya.

Selain sagu, singkong juga menjadi bahan menjanjikan karena bisa ditanam di banyak daerah seperti Lampung dan Jawa Barat. Tantangan utamanya adalah rendahnya produktivitas dan tingginya biaya produksi.

“Untuk menjadikan singkong sebagai bahan pakan yang ekonomis, produktivitasnya harus mencapai minimal 40 ton per hektar dan  beberapa varietas unggul dari IPB University saat ini sudah mampu memenuhi target tersebut,” ungkapnya.

Jagung analog yang dikembangkan Dr Heri dan tim telah melalui berbagai tahap riset dan uji coba, baik di laboratorium maupun di lapangan. Untuk meningkatkan utilitasnya agar setara dengan jagung, maka salah satu proses penting adalah ekstrusi, yaitu teknik proses menggunakan metoda hydrothermal untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia serta utilitas bahan pakan.

Selain mengandung sumber karbohidrat dari sagu dan singkong, jagung analog juga ditambahkan bahan lain yang kaya protein dan nutrient mikro. Bahkan ekstrak daun kelor digunakan sebagai sumber beta-karoten, vitamin dan mineral mikro.

Hasil uji coba pada ayam kampung menunjukkan performa yang baik. Tahun ini, uji coba juga akan dilakukan pada ayam broiler setelah proses ekstrusi selesai.

Pada tahun ini, proyek ini  telah mendapatkan pendanaan dari Program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain dan Teknologi RI dalam rangka diseminasi dan penerapan kepada masyarakat. Dengan skala produksi yang lebih besar, jagung analog diharapkan bisa menjadi solusi nyata bagi peternak kecil.

“Biaya pakan yang lebih murah akan menurunkan harga produksi ayam, sehingga konsumen juga bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau,” tegas Dr. Heri.

Dr Heri berharap inovasi ini bisa segera dikomersialisasikan dan menjadi alternatif pakan ternak yang murah, mudah diproduksi, dan berbasis bahan lokal. Keberhasilan ini bisa menjadi salah satu terobosan besar dalam sektor peternakan Indonesia.

Inovasi jagung analog tidak hanya mengurangi ketergantungan impor jagung, tetapi juga memberdayakan sumber daya lokal yang selama ini belum optimal dimanfaatkan. Sagu Papua dan singkong daerah bisa menjadi kunci kemandirian pakan ternak nasional. (dh)