Kembangkan Wanamina Kepiting Bakau, IPB University Bersama Mitra Industri Libatkan Nelayan dan Masyarakat Pesisir Bekasi dan Brebes

IPB University bekerja sama dengan PT Inovasi Teknologi Bangsa (Inoteb) meluncurkan terobosan bernama Program Integrasi Wanamina Kepiting Bakau dan Restorasi Ekosistem Mangrove untuk Perikanan Rendah Karbon. Program ini diimplementasikan melalui skema Matching Fund Kedaireka yang mendukung kolaborasi antara universitas dan mitra industri dalam menghadapi tantangan lingkungan dan keberlanjutan.
Kegiatan orientasi lapang dilakukan di dua wilayah pesisir yakni Muara Gembong, Bekasi dan Kaliwangi, Brebes dengan tujuan mengembangkan perikanan kepiting yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pelaksanaannya juga melibatkan masyarakat dalam upaya transfer teknologi serta pengetahuan, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir.
Prof Dietriech Bengen selaku ketua tim peneliti mengungkapkan bahwa program ini merupakan langkah maju bagi IPB University dan mitra industri dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Upaya tersebut juga diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut.
“Mangrove sebagai habitat kepiting memegang peran penting bagi keberlangsungan hidup dan perkembangbiakan kepiting bakau. Sudah seharusnya dijaga untuk tetap mempertahankan kondisi lingkungan dan ekonomi masyarakat pesisir,” ujar Prof Dietriech.
Rata-rata jumlah kepiting yang dikumpulkan di pesisir Muara Gembong bisa mencapai 100-150 kg per hari dan masih kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan pasar. Harga kepiting bervariasi mulai dari 150 ribu untuk kepiting isi sampai 400 ribu untuk kepiting telur. Sebelum dijual, kepiting dari alam diambil lalu dibesarkan di kolam atau tambak yang telah disekat oleh bambu. Kepiting dibesarkan dalam kurun waktu 3-4 pekan dengan pemberian pakan ikan rucah.
“Bisnis kepiting sangat menjanjikan. Namun, untuk skala industri perlu adanya keberlanjutan supply chain dan quality control kepiting yang dipasarkan, apalagi untuk kebutuhan ekspor,” sambung Akhmad Syarbini, Direktur Utama PT Inoteb, mitra industri Matching Fund.
Di Kaliwangi, pelaku usaha kepiting telah mengadopsi usaha budi daya kepiting secara intensif menggunakan apartemen kepiting sederhana berbahan bambu di kolam atau tambak yang dikelilingi oleh pohon mangrove. Proses budi daya melibatkan penggunaan kotak-kotak khusus untuk setiap ekor kepiting dengan ukuran 10-14 ekor per kilogramnya guna memastikan pembesaran yang optimal. Pengisian dan pemanenan kepiting dilakukan secara berkala dan bergantian untuk menjaga ketersediaan stok kepiting yang optimal di dalam kolam.
Selain tambak, sebagian masyarakat memanfaatkan lahan kosong dengan membuat kolam terpal untuk memelihara kepiting. Salinitas dan sirkulasi air dijaga untuk mempertahankan kehidupan kepiting saat pemeliharaan. Namun salah satu kekurangan dari sistem ini adalah tingginya paparan matahari pada area sekitar kolam yang meningkatkan pertumbuhan alga, baik di kolam ataupun di tubuh kepiting. Hal ini tentunya kurang baik bagi kebersihan dan kesehatan kepiting yang dibesarkan.
“Kami sangat mengharapkan adanya edukasi dan kerja sama dari para peneliti dan juga industri yang bisa membantu masyarakat dalam mengembangkan industri kepiting di desa kami,” ujar Bangkit, Ketua Karang Taruna di Kaliwangi, Brebes.
Sebagai kelanjutan dari program Matching Fund, IPB University akan mengembangkan mini hatchery untuk menyediakan benih kepiting secara berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada penangkapan dari alam.
Selain itu, teknologi digital berbasis internet akan digunakan untuk pengembangan pakan alternatif yang ramah lingkungan, sehingga jejak air dan karbon dari produksi kepiting bakau dapat diminimalkan. Langkah-langkah ini merupakan upaya konkret dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan di sektor perikanan kepiting. (DEA/RAT/Rz)