Masa Depan Pengembangan Jarak Pagar di Indonesia
IPB Gelar International Jatropha Conference
Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB berkolaborasi dengan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. menyelenggarakan International Jatropha Conference pada tanggal 24 – 25 Juni 2008 di IPB International Convention Center (IICC) dengan tema Research for the Future Business.
Konferensi tersebut bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran ide, informasi dan teknologi antara pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan bioenergi berbasis jarak pagar dari seluruh dunia sehingga pengembangan jarak pagar benar-benar menjadi usaha atau bisnis yang bermanfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Konferensi ini sendiri dihadiri oleh 170 orang yang berasal dari berbagai negara antara lain Malaysia, China, Korea, Singapura, Amerika, Australia, Austria, Jepang, Timor Leste, dan tentu saja tuan rumah Indonesia.
"Mungkinkah jarak pagar tetap dapat dikembangkan oleh masyarakat dengan biaya dan teknik budidaya yang terbatas? Bagaimana agar pengembangan jarak pagar layak secara ekonomis? Bagaimana membuat perencanaan dan sinergi/ kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha? Sejuta pertanyaan lagi tentang jarak pagar tersebut hanya dapat dijawab dengan penelitian yang intensif dan komprehensif. Untuk itu kami menyelenggarakan International Jatropha Conference," Kata Kepala Pusat SBRC-IPB, Dr. Ir. Erliza Hambali
Dipaparkannya, salah satu sumber bahan bakar nabati (biofuel) yang mulai dipikirkan kembali secara serius oleh komunitas dunia adalah jarak pagar. Hal ini disebabkan kenaikan harga komoditas pangan yang sangat tinggi sehingga menyengsarakan banyak negara-negara miskin. Bahkan UN Chief, Ban Ki-Moon, awal Juni lalu menyerukan agar negara produsen biofuel khususnya Amerika Serikat mengurangi subsidi biofuel dan konversi bahan pangan menjadi biofuel.
"Walaupun Amerika membantah dengan mengatakan bahwa produksi bioetanol jagung, hanya mempengaruhi kenaikan harga pangan global sekitar 2-3 persen, kenyataannya menurut berbagai lembaga independen dapat mencapai 30%. Jarak pagar bukan merupakan tanaman pangan sehingga tidak menimbulkan kontroversi seperti yang terjadi pada bahan baku biofuel lain seperti minyak sawit, jagung, dan tebu," katanya.
Menurutnya, penanaman jarak pagar di Indonesia dimulai sekitar akhir tahun 2005, semua stake holder, petani, pemerintah, swasta, BUMN bersemangat mengembangkan tanaman ini, yang dipercaya bisa menjadi solusi terhadap mahalnya harga bahan bakar minyak dan sekaligus menciptakan lapangan kerja di pedesaan. Para petani mulai tertarik mengembangkan tanaman ini karena sosialisasi yang terdengar, tanaman ini dapat tumbuh di lahan tandus, tidak perlu pemeliharaan, tidak perlu pupuk dan tidak perlu disiram.
"Pemerintah daerah juga bersemangat memulai pengembangan jarak pagar, tanpa mempersiapkan pembelian biji jarak tersebut. Beberapa departemen terkait juga menyiapkan anggaran untuk pengadaan peralatan pengolahan biji jarak dalam mengantisipasi berlimpahnya pasokan biji jarak dari petani, tanpa memperhitungkan harga jual biji jarak di tingkat petani. Pemerintah Pusat melalui TimNas BBN menetapkan target pengembangan jarak pagar sampai tahun 2010 yaitu mencapai 1,5 juta Ha. Melihat realisasi di lapangan kelihatannya target ini sulit untuk dicapai. Saat ini penanaman jarak pagar di seluruh wilayah Indonesia baru mencapai sekitar 121.200 Ha. Jadi baru sekitar 8 persen dari target semula," ujarnya lagi.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dijelaskanya bahwa yang pertama adalah ketidakjelasan harga jual biji jarak, sempat beredar harga biji jarak dipatok sekitar Rp 500/kg. Akhirnya banyak petani jarak pagar yang menebang tanaman jaraknya karena harga yang terlalu murah sehingga tidak sesuai dengan biaya tenaga kerja. Yang kedua adalah tidak adanya pembeli karena belum tercipta bisnis jarak pagar yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan pasar yang membutuhkan produk ini. Melihat situasi ini dan lambatnya pengembangan penanaman jarak pagar, Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) – IPB melalui berbagai kegiatan riset dan pemberdayaan masyarakat berupaya untuk membantu semua stake holder dengan melakukan penelitian produksi bibit jarak unggul, praktek budidaya yang baik, membantu sertifikasi benih dan berinisiatif untuk mencarikan pasar tetap bagi jarak pagar, dengan asumsi bila produktivitas memadai dan harga jual biji jarak layak, maka akan ada pembeli tetap sehingga secara bertahap, petani akan bersemangat mengembangkan tanaman ini.
Sementara itu, Direktur Sumberdaya Manusia (SDM) PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk., Ir. Kuky Permana, mengatakan, PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. merupakan salah satu calon pembeli biji jarak pagar yang potensial saat ini. Indocement merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang sudah memperoleh Certified Emission Reduction (CER) melalui pemanfaatan energi terbarukan dalam memproduksi semennya.
"Saat ini Indocement sudah menggunakan 6% kebutuhan energinya dari biomassa seperti sekam padi, cangkang kelapa sawit, serbuk gergaji dan buah jarak. Walaupun demikian kebutuhan minyak bakar perusahaan semen ini masih sekitar 200.000 liter per hari (setara dengan 800 ton biji jarak per hari). Dengan demikian, bila semua energi yang dibutuhkan pabrik Indocement di Citeureup diperoleh dari jarak pagar, dibutuhkan sekitar 1,39 juta ton per tahun (setara dengan penanaman seluas 277.400 Ha). Kebutuhan kemungkinan lebih tinggi lagi karena Indocement memiliki beberapa pabrik serupa di Palimanan dan Tarjun, Kalimantan Selatan," ujar Kuky.
Menurutnya, petani hanya perlu mengeringkan buah tanpa pengolahan lain. Harga beli buah jarak kering sampai di pabrik Indocement Citeureup diperkirakan sekitar Rp 750 – 800 per kg. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menjual biji dan kulit buahnya secara terpisah.
"Harga biji jarak ini sudah lebih tinggi dibandingkan dengan harga biji jarak kering yang dua tahun lalu diperkirakan hanya sebesar Rp 500 per kg. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh SBRC – IPB, jika harga jual buah jarak kering sekitar Rp 750 – 800 per kg sudah dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan harga jagung yang saat ini sekitar Rp 900 per kg di tingkat petani," katanya.
Dipaparkannya, permasalahan lain adalah kekhawatiran adanya kompetisi penggunaan lahan untuk tanaman pangan dan tanaman jarak. Namun hal ini dapat dikurangi karena jarak dapat tumbuh di lahan kering yang kurang subur, yang biasanya tanaman pangan tidak dapat tumbuh. Jarak juga tahan terhadap kekeringan. Pada lahan subur, jarak dapat ditanam sebagai pembatas ladang sebagai tanaman pagar yang melindungi tanaman pangan dari ternak. Jarak pagar juga dapat ditanam secara tumpang sari dengan tanaman jahe, sambiloto, dan kacang tanah ataupun tanaman lainnya yang memiliki ukuran lebih kecil daripada tanaman jarak pagar. Dengan demikian, selama menunggu masa panen jarak pagar, petani tetap dapat berproduksi. Ini tentunya dapat membantu petani untuk memenuhi biaya yang diperlukan selama pembudidayaan jarak pagar. Pada lahan kering atau lahan reklamasi, kebun jarak pagar dapat ditanami Legume Cover Crops (LCC). Disamping dapat mengurangi penguraian unsur hara dan menahan laju air hujan, penanaman LCC juga dapat menambah bahan organik, melindungi dari erosi, dan sumber pakan ternak seperti kambing. Model pengembangan jarak pagar seperti ini telah diterapkan di lahan bekas tambang kapur PT. Indocement dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Model ini diharapkan dapat menjadi pembelajaraan bagi pengembangan jarak pagar di daerah lainnya.
Sedangkan Rektor IPB Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. mengatakan, pengembangan budidaya jarak pagar lebih diarahkan untuk dikonsumsi oleh petani terlebih dahulu sebelum dijual ke produsen lainya. Hal ini dilakukan agar kebutuhan bahan bakar sawit di daerah penghasil biji jarak bisa terpenuhi dan tidak perlu menyuplai bahan bakar dari daerah lain. "Pada intinya diharapkan daerah tersebut bisa mandiri bahan bakar," ujarnya.
Acara dibuka langsung oleh Rektor IPB Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., dan dihadiri Kepala LPPM IPB Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya Noorachmat, M.Eng., Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerjasama Dr.Ir.H. Anas Miftah Fauzi, M.Sc., Kepala Pusat Penelitian dan Perkebunan Deptan, Dr. Sakir, dan Wakil Ketua III Tetap Pengembangan Pasar Kadin Indonesia, Roy Hendroko Setyobudi.
Acara ini di dukung oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (ICERD) Departemen Pertanian, KADIN Indonesia, PT. Rekayasa Industri, PT. Nvision Indonesia, PT. Biodisel Austindo, JatOil Corporation, dan Biomac Corporation Sdn Bhd. (SBRC – IPB/man)