Adaptasi Pertanian Dalam Merespon Perubahan Iklim Global Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan

Adaptasi Pertanian Dalam Merespon Perubahan Iklim Global Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan

Berita


Dalam
merespon masalah yang dihadapi akibat dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian,
IPB memandang penting mengangkat isu ini untuk meningkatkan kemampuan stakeholder dalam mengatasi perubahan
iklim saat ini dan masa yang akan datang serta menangkap peluang yang ada,
khususnya bagi pasar produk pertanian. Hal ini didiskusikan dalam acara
workshop I-MHERE B2.C yang bertajuk "Adaptasi Pertanian Dalam Merespon
Perubahan Iklim Global Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan"  yang di gelar di IPB International Convention
Center, Bogor, 11/3.

 

Workshop
ini merupakan bagian dari program I-MHERE B2.C (Indonesian Managing Higher
Education For Relevance and Efficiency B2.C) yaitu kegiatan unggulan DIKTI
berbasis kinerja bersifat kompetitif dan saat ini hanya 5 perguruan tinggi yang
dipercaya untuk mengelola grant ini. Ke-5 perguruan tinggi  BHMN ini adalah (IPB, ITB, UI, UGM dan UNAIR),
tandas  Wakil Rektor bidang Akademik dan
Kemahasiswaan IPB, Prof. Yonny Koesmaryono saat membuka acara.

 

Dr.
Gatot Irianto, Kepala Badan Litbang Pertanian, menyampaikan  IPB melalui riset-risetnya harus bisa menjadi
solusi dalam  mengurangi dampak perubahan
iklim sekaligus tidak berpengaruh terhadap produksi pangan. "Seperti saat ini
akibat peningkatan muka air laut, terjadi pengurangan produksi beras sekitar
300 ribu ton, produksi jagung sekitar 5 ribu ton akibat tergenang air di
kabupaten Karawang dan Subang.  "Harus
ada teknologi yang bisa mengatasi dampak perubahan iklim ini, " paparnya. 

 

Sementara
itu menurut Prof. Rizaldi Boer, permasalahan dampak perubahan iklim yang masih
perlu mendapat prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pertanian saat ini dan
mendatang adalah  bergesernya pola dan
kalender tanam, outbreak hama dan
penyakit, penurunan biodiversitas dan akhirnya dampak tersebut  menyebabkan menurunnya produksi pertanian.

 

"Untuk
mengatasi dampak perubahan iklim ini sangat ditentukan oleh kemampuan kita
untuk mensiasati keragaman iklim saat ini. 
Kegagalan panen dan penurunan produksi yang besar saat ini terjadi
akibat kekurangmampuan kita mengatasi kondisi iklim ekstrim masih sering
terjadi, " tandasnya.  Sehingga yang
harus dilakukan adalah mengembangkan teknologi prakiraan iklim musim dan
prediksi iklim jangka panjang.  Selain
itu, penggunaan teknologi prakiraan musim dan iklim pun harus dioptimalkan pada
tingkat operasional.

 

Di
banyak negara berkembang, telah banyak diberlakukan indeks iklim untuk asuransi
pertanian.  Apa itu asusransi iklim?
Produk asuransi pertanian berbasis indeks iklim ini dikenal dengan Climate Indexed Insurance.  Sistem ini memberikan pembayaran pada
pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca atau iklim yang tidak diharapkan (indeks
iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. 
Sistem ini sudah dikembangkan di berbagai negara khususnya di Afrika, India
dan Filipina.  Asuransi ini dapat
mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi
informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan.

 

Hal
lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim adalah mengembangkan
riset-riset untuk tanaman pertanian yang adaptif terhadap cekaman iklim.  Beberapa contoh varietas padi yang mampu
beradaptasi dalam iklim kekeringan adalah padi (Dodokan dan Silugonggo), jagung
(Bima 3, Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, Anoma), Kedelai (Argomulyo dan
Burangrang), Kacang Tanah (Singa dan Jerapah), serta kedelai (Kutilang).  Varietas padi yang mampu beradaptasi terhadap
cekaman salinitas tinggi diantaranya adalah Way Apo Buru, Margasari dan Lambur.
Sementara varietas padi yang mampu beradaptasi dengan banjir adalah padi GHTR1.
(dh)