Metode SRI Tingkatkan Produksi Beras 78 Persen
Metode System of Rice Intensification (SRI) yang telah dikembangkan di kawasan Indonesia timur sejak beberapa tahun lalu itu terbukti mampu meningkatkan produksi beras hingga rata-rata 78 persen.
Begitulah hasil dari seminar Seminar Sehari "The System of Rice Intensification, yang mengusung tema Making Land, Labor, Water dan Capital More Productive for Meeting Food Needs, Rabu (16/1) di Auditorium Toyib Hadiwijaya, Faperta, Kampus IPB Darmaga, Bogor.
Seminar yang diselenggarkan Fakultas Pertanian IPB ini, dibuka oleh Dekan Faperta Prof.Dr.Didi Sopandi, dan juga dihadiri oleh pakar perberasan, Professor Emeritus Cornell University; Program Leader for sustainable Rice System, Cornel Institut for Food, Agriculture and Develoment (CIIFAD)), Prof.Dr.Norman Uphoff, Team Leader of the Consultant for Decentralized Irigation System Improvement Project in Eastern Indonesia; Director of Nippon Koei Co.Ltd, Mr. Shuichi Sato, President of Aliksa Organic SRI Consultant, Mr. Alik Sutaryat, Pakar perberasan IPB dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB, Dr. Sugiyanta, dan Prof.Dr.Iswandi Anas.
SRI adalah sistem budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Di dalam seminar juga dikatakan bahwa budidaya padi dengan sistem SRI yang baru dikembangkan di Jawa Barat, Bali, Sulawesi, NTB dan NTT dapat memberikan hasil panen yang cukup menggembirakan.
Data yang disebutkan oleh President of Aliksa Organic SRI Consultant, Mr. Alik Sutaryat, rata – rata produktivitas SRI Organik musim tanam tahun 2007 di Jawa Barat sekitar 8,13 ton per hektar.
Hal senda juga dikatakan pakar budidaya padi SRI dari Jepang, Shuichi Sato. Beliau mengatakan, bila cuma 10 persen saja dari persawahan teririgasi di Indonesia menggunakan metode tanam ini, maka target peningkatan produksi sebesar dua juta ton tersebut dapat terlaksana dengan mudah.
"Teknik SRI tidak memerlukan bibit padi khusus. Petani dapat menggunakan bibit hasil penangkaran sendiri sehingga tidak bergantung pada benih impor," katanya.
Sato yang juga Ketua Tim Proyek Pengembangan Sistem Desentralisasi Irigasi Indonesia Bagian Timur (DISIMP) itu mengatakan, metode SRI mampu menghemat penggunaan air hingga 40 persen, dan beras yang dihasilkan praktis tidak ada kadar gulanya.
SRI juga mampu menghemat biaya produksi petani karena hanya memerlukan bibit 5 kg per hektar, dibandingkan cara konvensional yang membutuhkan 25 kg per hektar.
"Metode SRI juga terbukti ramah lingkungan karena mampu membantu meredam pemanasan bumi dengan memperkecil sebaran gas metan dari lahan persawahan sehingga mengurangi penebalan lapisan gas rumah kaca," katanya.
Di satu sisi, melihat metode yang cukup menggembirakan ini, IPB sebagai salah satu perguruan tinggi pertanian terbesar di Indonesia menyikapi hal ini sebagai salah satu alternative dalam meningkatkan produksi perberasan di Indonesia.
"SRI hanya sebagai salah satu pilihan dari sekian banyak metode dalam meningkatkan produksi beras di Indonesia, kita perlu kritis dalam menyikapi hal ini," ujar Dekan Fakultas Pertanian IPB Prof.Dr.Didi Sopandi.
Menurutnya, meskipun metode SRI ini bisa dibilang metode yang menggiurkan karena bisa meningkatkan kapasitas produksi, namun masih belum diadopsi oleh petani Indonesia, padahal metode ini sudah masuk sejak tahun 1999.
"Masalahnya hanya pada kebiasaan saja, petani kita masih belum terlatih dengan metode baru dan sedikit rumit," ujarnya.
Pada kegiatan tersebut, Institut Pertanian Bogor (IPB) meluncurkan Indonesian-SRI (Ina-SRI), sebagai forum komunikasi untuk pertukaran informasi antara pemangku-kepentingan (stakeholder) dalam System of Rice Intensification (SRI).
Penggagas forum komunikasi tersebut adalah Prof Dr Iswandi Anas dan Prof. Dr. Budi Indra Setyawan. (man)