Bank Pertanian: Pembiayaan Alternatif untuk Petani

Bank Pertanian: Pembiayaan Alternatif untuk Petani

Berita

Hampir 90 persen petani mandiri menggunakan modal sendiri untuk membiayai
usaha pertaniannya. Tiap musim tanam tiba, petani mengusahakan modal dari berbagai
cara agar dapat menanam. Petani sulit mendapatkan akses modal dari berbagai
sumber. "Para rentenir memberi pinjaman dengan bunga tinggi. Perbankan sulit
meminjami karena terbentur kententuan perbankan. Alokasi kredit  sektor 
pertanian di perbankan masih relatif kecil yakni sekitar 6 persen per
Desember 2008," ungkap Direktur Pusat Pembiayaan Pertanian Departemen
Pertanian, Dr.Mat Syukur dalam acara Round Table Discussion "Mencari Alternatif
Pembiayaan Pertanian',  Kamis (16/4) di
Hotel Borobudur Jakarta. Round Table Discussion yang diselenggarakan
Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB bekerjasama
dengan  Kementrian Koordinator Bidang
Perekonomian Republik Indonesia (RI) ini merupakan bagian rangkaian dari Dies
Natalis Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) ke-8.

 

Menurut Dr. Syukur sektor pertanian memiliki banyak potensi,  keunggulan dan ciri khas yang unik. Sektor
pertanian memiliki potensi usaha mikro, kecil, menengah  cukup besar. Sektor pertanian berkontribusi
besar pada pertumbuhan ekonomi.  Secara
individual petani memerlukan pembiayaan dalam jumlah tidak besar, namun
memerlukan ketetapan waktu (musim). Petani memiliki kemampuan dan kemauan
tinggi membayar kembali pinjaman, bahkan bersedia membayar bunga tinggi. Petani
memungkinkan bekerja dalam kelompok atau koperasi.

 

"Pemerintah telah melakukan upaya menyediakan permodalan bagi petani
seperti Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), skim Kredit Ketahanan Pangan dan
Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan
(KPEN-RP), Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL dari penyisihan laba BUMN),
Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan pola penjaminan, skim kredit komersial.
"Sayangnya ini belum dapat menjangkau seluruh petani miskin di Indonesia. Oleh
karena itu perlu alternatif solusi berupa Lembaga Keuangan Mikro Agrobisnis
(LKM-A) atau juga bank pertanian," papar Dr.Syukur. Keunggulan LKM-A antara
lain: kemudahan akses, prosedur cepat, prosedur relatif sederhana, berdasar
budaya setempat dan dekat lokasi usaha, serta pengelolanya lebih paham dan
mengenal karakter petani (nasabah).

 

LKM-A ini hendaknya didirikan dan dimiliki petani. LKM-A melayani simpan
pinjam dan skim-skim kredit memenuhi kebutuhan petani khususnya di
pedesaan.  Tentu saja LKM-A ini
memerlukan tahapan proses  hingga
terintegrasi dalam jaringan keuangan nasional. Sedangkan bank pertanian fokus
membiayai sektor pertanian. Bank pertanian ini dalam pelaksanaannya menggandeng
lembaga mikro dan diharapkan mampu mengakselerasi pemerataan pendapatan,
memperbaiki struktur ekonomi, memperkuat ketahanan pangan secara berkelanjutan
dan meningkatkan daya saing produk pertanian.

 

Direktur Karim Business Consulting, Ir.Adiwarman A.Karim, SE, MBA,
MAEP menyarankan bank pertanian dapat diwujudkan tahun depan dengan mengambil
momen rencana spin off Bank BNI yang akan membentuk Bank BNI Syariah.
"Kita dapat mengusulkan pada pemerintah agar Bank BNI syariah fokus membiayai
sektor pertanian seperti Bank Tabungan Negara (BTN) yang lebih fokus membiayai
perumahan. Selain itu, bank syariahlah 
paling tepat menekuni  sektor
riil," ujar Adiwarman.

 

Ide pembentukan bank pertanian ini tak bertentangan dengan undang-undang
perbankan Indonesia. Malah di beberapa kesempatan Gubernur Bank Indonesia,
Boediono mengusulkan pendirian bank pertanian. Sebab kenaikan pertumbuhan
sektor pertanian menyumbang minimal tujuh persen terhadap angka
pengentasan  kemiskinan rakyat.

 

Diskusi  ini diawali sambutan Wakil
Rektor Bidang Sumberdaya dan Pengembangan Prof.Dr.Hermanto Siregar. Diskusi
yang menampilkan keynote speaker Deputi
Menteri Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Dr.Bayu Krisnamurti dan Dirjen Anggaran
Departemen Keuangan Dr Anny Ratnawati ini juga menghadirkan pembicara Komisaris
Independen BRI Aviliani dan Ketua Departemen Agribisnis FEM Dr.Nunung Kusnadi. Sedangkan
sebagai moderator diskusi Dr. Noer Azam Achsani.
Acara yang dihadiri peserta  dari
berbagai kalangan ini menghasilkan 
beberapa butir rumusan sebagai berikut:

 

 

1. Kebangkitan pertanian dapat
diakselerasi secara cepat dengan pembiayaan pertanian menjadi salah satu
pemicunya.  Persoalan kegiatan atau usaha
pertanian tidak pernah berubah walaupun terjadi pergantian pemerintahan.  Pembiayaan pertanian apakah akan mengarah ke
bank pertanian, koperasi, atau bentuk lainnya? 
Atau berubah dari yang sebelumnya lebih banyak tanggung jawab pemerintah
ke seluruhnya menjadi kendali swasta?

2. Seringkali pembiayaan
pertanian diartikan sebagai kredit, sehingga selalu dibedah pada sisi supply
dan demand, jarang  menyentuh
sumber-sumber dananya yang bersifat critical strategic.

3.  Fasilitasi pembiayaan
menjadi salah satu program dari lima pilar pembangunan pertanian, karena
faktanya kemampuan petani cukup besar dalam mengembalikan pinjaman, namun skema
yang sudah ada untuk pola pembiayaan pertanian efektivitasnya masih kecil.  Apakah jawabannya adalah bank pertanian?
Efektivitas bank umum yang sudah ada pun ditengarai tidak menyukai pertanian.

4. Pertanian yang tidak
disukai memang pertanian yang miskin, tidak pada pertanian yang kaya.  Oleh karena itu, micro banking
merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pembiayaan
kepada pelaku bisnis mikro pertanian. Walaupun demikian, bisnis mikro ini masih
dihadapkan pada kesulitan dalam memperoleh skim kredit, masalah sosial, masalah
resiko usaha, masalah sertifikasi lahan, pembukuan masih sangat sederhana, value added masih kecil, dan lain-lain.
Lalu, yang menjadi persoalan adalah siapa yang membina petani, mengatur
mekanisme pasar sehingga bank mau memberikan pembiayaan.

5. Dengan persoalan pertanian yang
sering dikatakan under value
menyebabkan persepsi terhadap pertanian menjadi kurang menarik.  Sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan
kinerja pertanian melalui alternatif pola pembiayaan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kegiatan pertanian, baik di on
farm
maupun di down stream dan up stream.

6. Jika sudah masuk pada
konsep ini, maka harus berani dinyatakan bahwa yang menjadi perhatian  adalah pembiayaan untuk agribisnis.
Agribisnis sebagai kegiatan yang lebih memfokuskan self financing dan usaha bersama (farm cooperative).  Power-nya
kegiatan agribisnis terletak pada kegiatan bersama seperti gerakan koperasi
yang kuat sehingga dapat membuat financing
sendiri.

7. Self financing mengarah
pada pembiayaan private dari
masyarakat sehingga pembiayaan pertanian sudah waktunya diperbesar porsinya
oleh swasta. Misalnya dengan membuat proposal bisnis "bank pertanian syariah"
dari spin off BNI Syariah.

8.
Bank Indonesia sangat welcome terhadap eksistensi bank
pertanian.  Hal ini adalah peluang dan
sekaligus tantangan.  Pertanyaannya
sekarang, bagaimana setting kelembagaan
dilakukan untuk kemudian focus pada alternatif pembiayaan pertanian yang
dibutuhkan untuk pengembangan pertanian. 
Jika begini, maka momentumnya sangat tepat untuk mendapat political will pemerintah dan menjadikan
bank pertanian sebagai isu sentral pemerintah baru, supaya tidak menyimpang
dari janjinya pada masyarakat.

9. Akhirnya, bank pertanian
merupakan solusi cerdas pembiayaan pertanian yang perlu ditindaklanjuti dengan
bisnis proposal "bank pertanian syariah" yang mengadopsi perubahan paradigma
pertanian dengan agribisnis yang di- drive
oleh IPB, Pusat Pengembangan dan Studi Kebanksentralan, dan Bank
Indonesia.  

 

 

(disarikan ris)