Limbah Slag Baja Termasuk dalam Limbah B3

Limbah Slag Baja Termasuk dalam Limbah B3

Berita

Kementerian Lingkungan Hidup melalui Iyan Suwargana menyatakan dengan tegas bahwa limbah slag baja masih termasuk dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Penentuan termasuk dalam limbah B3 atau non B3 sebenarnya masih tergantung masing-masing negara. USA dan negara lainnya seperti Jepang mengatakan bahwa limbah slag baja termasuk dalam limbah khusus dan bukan limbah B3.

“Masing-masing negara memiliki kebijakan tersendiri terkait dengan limbah slag baja. Indonesia menyatakan bahwa limbah slag baja termasuk ke dalam limbah B3 yang sangat beracun. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju lainnya seperti Jepang dan Amerika. Mereka sudah mampu mengelola limbah tersebut untuk diaplikasikan dalam produk lain yang sudah sesuai dengan standar keamanannya,” ujar Iyan yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Pemanfaatan Limbah B3, Kementerin Lingkungan Hidup saat memberikan materi di Lokakarya Internasional “Pemanfaatan Steel Slag untuk Pertanian” yang digelar Fakultas Pertanian (Faperta) IPB di IICC (23/8).

Menurutnya Indonesia masih belum mampu mengelola limbah B3 dengan baik. Limbah slag baja yang biasanya dihasilkan oleh industri baja Indonesia masih berbentuk bongkahan. Sehingga masih diperlukan tahapan-tahapan lain sebelum diolah menjadi produk lain yang aman digunakan dan bernilai ekonomis.

“Jepang dan Amerika sudah bisa menghasilkan limbah slag baja berbentuk cair, sehingga memudahkan dalam memanfaatkannya,” tambahnya.  Pengelolaan limbah B3 memiliki resiko yang sangat tinggi apabila tidak dikelola dengan baik. Artinya, limbah B3 dikelola sejak dihasilkannya limbah tersebut samapi dimusnahkan harus diketahui secara pasti setiap pergerakan dan catatannya.

Menurut Deputi Bidang Pengelolaan B3 dan Limbah B3 tentang Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia, potensi timbulan limbah B3 terbesar ada di pulau Jawa sebesar 50%. Diikuti pulau Sumatera termasuk Batam dan sekitarnya sebesar 30%, dan Kalimantan Timur sebesar 20%.

“Dari hasil studi tersebut juga diperoleh informasi kepada kami di Kementerian Lingkungan Hidup bahwa sebagian besar limbah-limbah B3 yang dihasilkan belum dikelola sesuai dengan prinsip pengelolaan lingkungan. Contohnya, limbah disimpan di lokasi pabrik, ditimbun atau bahkan dibuang langsung ke lingkungan,” ujarnya.

Ini merupakan akumulasi dari kurangnya kesadaran pelaku bisnis akan bahaya limbah dan perlunya pengelolaan limbah B3 serta tidak tersedianya fasilitas pengelolaan limbah B3 yang memadai di seluruh Indonesia.

Penelitian terhadap peluang pemanfaatan limbah B3 sudah banyak dilakukan sejak tahun 1980. Dekan Fakultas Pertanian IPB, Prof.Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr saat memberikan sambutan mengatakan bahwa kajian dan penelitian kebanyakan untuk menaikkan PH tanah dan ketersediaan silicon (Si) dalam budidaya tanaman padi dengan menggunakan limbah slag baja.
 
“Meskipun unsur silicon bukan nutrisi yang essential, namun elemen ini sangat penting untuk tanaman padi. Beberapa penelitian di Jepang memperlihatkan bahwa aplikasi dari silicon yang terkandung dalam slag baja mampu meningkatkan produktivitas padi. Di Indonesia, penelitian terkait limbah slag baja sudah dilakukan di bidang pertanian khususnya di pulau Jawa,” ujarnya.

Menurutnya, Indonesia sudah mencoba mengaplikasikan hal yang serupa, namun belum berhasil menaikkan produktivitas padi. Dilain sisi, aplikasi limbah slag baja di lahan gambut di Indonesia terlihat lebih prospektif.

Oleh karenanya, Fakultas Pertanian selaku penyelenggara mendatangkan Tsuyoshi Sasaki dan Masashi Maruyama dari Sumitomo Metal Industry, Prof. Dr. Itsuo Goto, dari Tokyo University of Agriculture Jepang serta peneliti dan pelaku bisnis yang terkait dengan limbah slag baja. “Ini kami lakukan untuk bertukar informasi dari seluruh stakeholder dengan harapan untuk menemukan solusi yang tepat dalam penggunaan limbah slag baja di bidang pertanian,” ujarnya.(zul)