Pembusukan Pertanian Sudah Dimulai Sejak 1999

Pembusukan Pertanian Sudah Dimulai Sejak 1999

pertanian
Berita
Agar mendapat bantuan keuangan, Indonesia terpaksa memenuhi syarat-syarat IGGI dan IMF ke arah ekonomi liberal. Sejak itu tidak ada lagi politik pertanian bangsa, tidak ada lagi kedaulatan pertanian Indonesia.
 
“Di situ kita lihat bahwa kita sudah dirampas kebebasan kita, kita sudah dipaksa untuk impor, dipaksa masuknya investor asing, produk perdagangan retail pun tidak bisa dicegah oleh kita, " ujar Prof. Dr.Ir. Sjarifudin Baharsjah dalam Seminar Reposisi Politik Pertanian di IICC (17/9).
 
Reformasi tahun 1999 tidak mampu membendung dampak dari intervensi IGGI dan IMF sebaliknya makin marak terjadi pembusukan sektor pertanian. Pembusukan yang terjadi lebih parah dari “Agriculture Involution” Geertz.
 
Selain itu, penyebab utama keterpurukan sektor pertanian saat ini adalah tidak adanya kesepakatan tentang tujuan jangka panjang pembangunan pertanian. Perumus kebijakan cenderung mengambil keputusan sesaat tanpa peduli dampak jangka panjang.
 
Kalaupun ada sasaran-sasarannya maka sasaran itu biasanya dirumuskan dalam serba swasembada (swasembada beras, jagung, gula, kedelai) yang celakanya tidak kunjung  tercapai.
 
“Untuk mencapai swasembada, dibutuhkan perjuangan tapi banyak yang membingungkan. Petani bingung, untuk mencapai swasembada, mana lahannya?” terangnya.
 
“Ekonomi pertanian diwarnai suatu ketimpangan dari imbalan yang diperoleh dari pekerjaan petani di pedesaaan dibandingkan dengan imbalan yang diterima buruh di perindustrian dan jasa, " ujar Menteri Pertanian Kabinet Pembangunan VII ini didampingi dua Wakil Menteri Kabinet Indonesia Bersatu yaitu Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan.
 
Kesenjangan upah kian melebar, petani adalah terbesar secara nasional dari total pekerja kita. Yang dikhawatirkan adalah dampaknya akan mengakibatkan gelembung kemiskinan. Untuk menghindari itu perlu reposisi politik pertanian yang menegaskan posisi dan peran pertanian dan pembangunan bangsa.
 
Menurutnya langkah awal menuju reposisi politik pertanian adalah dengan  mengembalikan kemandirian petani, mengajak pengusaha menjadi pemangku kepentingan bukan pemburu rente, menjamin akses petani kepada sumberdaya lahan dan air, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, menghilangkan distorsi pasar dan pembenahan statistik pertanian.
 
 
Tempatkan Alumni Pertanian di Segala Bidang
 
Sementara itu, menurut Wakil Menteri Perdagangan RI Bayu Krisnamurti dalam membahas Reposisi Politik Pertanian, sudah bukan masanya menjadikan sektor pertanian versus sektor industri dan jasa. Yang benar adalah pertanian dan industri dan jasa.
 
“Tidak akan berhasil jika paradigmanya masih pertanian versus industri, jasa dan perdagangan. Dinamika ini menjadi seperti itu, jika membatasi diri (tidak impor) maka akan kerdil. Yang harus dilakukan adalah pertanian dan industri dan jasa. Ini adalah posisi politik. Sektor pertanian harus percaya diri dan kuat untuk mengatakan kami (pertanian) adalah bagian dari ekonomi. Berapa bagian pertanian yang bisa berdiri sendiri tanpa industri dan jasa,” ujarnya di depan insan media selepas acara.
 
Keberhasilan pertanian 70% disukseskan oleh sektor di luar pertanian, tambahnya. Konsekuensinya harus sebanyak mungkin orang pertanian yang bergerak di luar pertanian.
 
“Justru itu adalah suatu kebanggaan (alumnus IPB bergerak di segala bidang), we did something right. Kita harus sengaja mendesain itu. Misal kami orang pertanian menempatkan Menteri Keuangan dari pertanian by design. Bukan kecil hati, sekarang ini berapa banyak duta besar (dubes) kita dari pertanian, bagaimana mungkin dubes bisa negosiasi kalau tidak mengerti masalah pertanian,” tegasnya. (zul)