Fahutan IPB Adakan Diskusi Manajemen Bahaya di Kawasan Konservasi dan Kawasan Rawan Bencana

Fahutan IPB Adakan Diskusi Manajemen Bahaya di Kawasan Konservasi dan Kawasan Rawan Bencana

fahutan-ipb-adakan-diskusi-manajemen-bahaya-di-kawasan-konservasi-dan-kawasan-rawan-bencana-news
Berita

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Fahutan IPB) menyelenggarakan kegiatan diskusi “Manajemen Bahaya di Kawasan Konservasi dan Kawasan Rawan Bencana” bertempat di Ruang Sidang Sylva Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor, (28/8). Indonesia dikaruniai gunung, hutan, lautan, sungai dan danau yang menarik untuk dijadikan destinasi wisata. Dan salah satu syarat dalam pengelolaan wisata alam adalah keselamatan pengunjung.

Dekan Fahutan IPB, DrRinekso Soekmadi mengatakan kawasan ekowisata Indonesia yang sangat menarik ternyata berada pada kawasan yang rawan bencana yang dapat mengacam keselamatan pengunjung, sehingga kondisi ini perlu mendapatkan perhatian.

“Tujuan dari diskusi ini adalah mengumpulkan informasi dan data dari berbagai institusi dalam pengelolaan bahaya ekowisata di kawasan konservasi dan kawasan rawan bencana. Harapannya ada langkah lanjutan dari para pihak dalam tata kelola bahaya ekowisata di kawasan konservasi dan kawasan rawan bencana, sehingga Indonesia bisa dikenal sebagai negara yang memperhatikan safety atau keselamatan para pengunjung,” ujarnya.

Hasil dari diskusi ini adalah adanya kajian penelitian terhadap beberapa gunung dan pantai diantaranya gunung Bromo, gunung Merapi, gunung Rinjani dan gunung Agung. Sedangkan pantai yaitu Pelabuhan Ratu, Parangtritis, Suwuk dan Tanjung Setia Krui.  

Sebagai contoh, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), merupakan destinasi ekowisata untuk pendakian gunung di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sangat populer. Sebelum terjadi gempa, Gunung Rinjani sendiri merupakan gunung yang kondisi alamnya perlu perhatian khusus, mulai dari trek menuju puncak dan kawah, serta seringnya terjadi kecelakaan. Untuk mekanisme bila terjadi kecelakaan, pengelola sudah mulai kerjasama dengan EMHC (Edelweis Medical Help Center – Pusat Bantuan Medis) dalam bentuk suatu asuransi dan dana yang digunakan untuk perlakuan bila terjadi kecelakaan, mulai dari penjemputan di gunung, pengobatan awal sampai dirujuk ke suatu rumah sakit.

Contoh lainnya adalah di pantai Parangtritis dan pantai Palabuhan Ratu. Kecelakaan di pantai sering dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat yang terkait dengan Nyai Roro Kidul. Padahal sebenarnya kecelakaan tersebut terjadi karena adanya arus tertentu yang tidak dikenal oleh pengunjung dan tidak adanya atau kurangnya upaya untuk memberikan peringatan dini kepada para pengunjung supaya terhindar dari kecelakaan.

“Sampai saat ini mekanisme apabila terjadi bahaya memang sudah mulai dilakukan, namun umumnya dilakukan sebagai tindakan penyelamatan apabila sudah terjadi kecelakaan. Sedangkan tindakan untuk pencegahan atau tindakan preventif masih sangat kurang atau baru sedikit dilakukan. Demikian juga di berbagai tempat ekowisata di Indonesia, biasanya yang sudah ada saat ini adalah tindakan atau penanganan setelah terjadi kecelakaan. Pandangan atau persepsi dari para pihak yang mestinya bertanggung jawab terhadap kegiatan ekowisata masih sangat beragam,” ujarnya.

Sementara itu, potensi bahaya erupsi atau aktivitas vulkanik ditemukan pada keempat lokasi dengan risiko yang berbeda. Erupsi di Gunung Merapi memiliki tingkat risiko tertinggi (substantial risk) dibandingkan tiga lokasi lainnya (Gunung Bromo, Gunung Rinjani dan Gunung Agung) yang memiliki risiko masih dapat diterima atau ditoleransi. Bahaya longsor ditemukan pada keempat lokasi dengan risiko yang rendah (tolerable risk). Lereng yang curam pada jalur pendakian memberikan risiko sedang (moderate risk) pada Gunung Merapi dan Gunung Rinjani, namun memberikan resiko substansial pada Gunung Bromo dan Gunung Agung. Aktivitas atau kelalaian pengunjung memiliki risiko substansial pada Gunung Bromo, Gunung Rinjani dan Gunung Agung. Bahaya biologi lebih banyak ditemukan di Gunung Rinjani dan akar pohon memberikan risiko sedang bagi pengunjung.

Pada tiga lokasi pantai (Palabuhan Ratu, Suwuk, dan Parangtritis), arus rip menjadi potensi dengan risiko substansial. Namun pada Pantai Tanjung Setia risiko substansial bagi pengunjung rekreasi ditimbulkan oleh ombak tukik. Ubur-ubur merupakan satu-satunya bahaya biologi yang sama yang ditemukan pada keempat lokasi pantai, namun memiliki risiko yang lebih tinggi di Pantai Suwuk dibandingkan tiga pantai lainnya.

Berbagai hal dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas manajemen bahaya. Salah satu yang menjadi fokus adalah pengunjung yang secara langsung mengalami kerugian dari kecelakaan yang terjadi pada dirinya. Kelalaian pengunjung dalam melakukan aktivitasnya seringkali menjadikan risiko bahaya menjadi lebih tinggi. Pengunjung kerap lalai dalam mematuhi himbauan ataupun peringatan yang diberikan oleh pengelola. Karena itu, edukasi bagi pengunjung menjadi hal penting yang dapat meningkatkan efektivitas manajemen bahaya yang diterapkan oleh pengelola.

“Jadi mekanisme pengelolaan bahaya di suatu kawasan ekowisata harus melibatkan para pihak secara kolaboratif untuk dapat menangani bahaya secara cepat dan terkoordinir. Apabila suatu kawasan ekowisata mengalami bencana, maka mekanisme koordinasi juga sudah ditentukan koordinasinya, siapa bertanggung jawab, apa dan siapa yang akan menjadi pimpinan dalam kondisi itu. Idealnya pada suatu kawasan ekowisata perlunya pemetaan adanya bahaya yang dalam kondisi wajar/biasa dan dalam kondisi adanya bencana,” imbuhnya.

Kegiatan ini dihadiri oleh stakeholder yang membidangi ekowisata Indonesia diantaranya, Ketua Departemen KSHE Fahutan IPB, Dr. Ir. Nyoto Santoso, Dosen Departemen Konservasi Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, ProfDr. E.K.S.Harini Muntasib, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Amanda, Pusat Standarisasi Lingkungan dan Kehutanan, Dwi Haryanto, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bogor, Hendra, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Ika Puspita, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Fitra, Taman Gunung Gede Merapi, Ruky Unaya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, (BMKG), Asri Rachmawati, serta peneliti dan dosen dari KSHE IPB.(awl/Zul)